Kamis, 19 Juli 2012


DAERAH PENANGKAPAN (FISHING GROUND)
Oleh : Mukhtar, A.Pi, M.Si

Pengertian Daerah Penangkapan Ikan
Suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis.
Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan ikan” apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dapat diterangkan bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya.
Sebab-Sebab Utama Jenis ikan berkumpul disuatu daerah perairan:
 a. Ikan-Ikan tersebut memiliki perairan yang cocok untuk hidupnya.
 b. Mencari makanan.
 c. Mencari tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan larvanya.

Karakteristik Daerah Penangkapan Ikan :
Kondisi-kondisi yang perlu dijadikan acuan dalam menentukan daerah penangkapan ikan adalah sebagai berikut :

a). Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudahnya datang bersama-sama dalam kelompoknya, dan tempat yang baik untuk dijadikan habitat ikan tersebut. Kepadatan dari distribusi ikan tersebut berubah menurut musim, khususnya pada ikan pelagis. Daerah yang sesuai untuk habitat ikan, oleh karena itu, secara alamiah diketahui sebagai daerah penangkapan ikan. Kondisi yang diperlukan sebagai daerah penangkapan ikan harus dimungkinkan dengan lingkungan yang sesuai untuk kehidupan dan habitat ikan, dan juga melimpahnya makanan untuk ikan. Tetapi ikan dapat dengan bebas memilih tempat tinggal dengan kehendak mereka sendiri menurut keadaan dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu, jika mereka tinggal untuk waktu yang agak lebih panjang pada suatu tempat tertentu, tempat tersebut akan menjadi daerah penangkapan ikan.

b). Daerah tersebut harus merupakan tempat dimana mudah menggunakan peralatan penangkapan ikan bagi nelayan. Umumnya perairan pantai yang bisa menjadi daerah penagkapan ikan memiliki kaitan dengan kelimpahan makanan untuk ikan. Tetapi terkadang pada perairan tersebut susah untuk dilakukan pengoperasian alat tangkap, khususnya peralatan jaring karena keberadaan kerumunan bebatuan dan karang koral walaupun itu sangat berpotensi menjadi pelabuhan. Terkadang tempat tersebut memiliki arus yang menghanyutkan dan perbedaan pasang surut yang besar. Pada tempat tersebut para nelayan sedemikian perlu memperhatikan untuk menghiraukan mengoperasikan alat tangkap. Terkadang mereka menggunakan trap nets, gill nets dan peralatan memancing ikan sebagai ganti peralatan jaring seperti jaring trawl dan purse seine.
Sebaliknya, daerah penangkapan lepas pantai tidak mempunyai kondisi seperti itu, tapi keadaan menyedihkan datang dari cuaca yang buruk dan ombak yang tinggi. Para nelayan juga harus mengatasi kondisi buruk ini dengan efektif menggunakan peralatan menangkap ikan.


c). Daerah tersebut harus bertempat di lokasi yang bernilai ekonomis. Ini sangat alamiah di mana manajemen akan berdiri atau jatuh pada keseimbangan antara jumlah investasi dan pemasukan. Anggaran dasar yang mencakup pada investasi sebagian besar dibagi menjadi dua komponen, yakni modal tetap seperti peralatan penangkapan ikan dan kapal perikanan, dan modal tidak tetap seperti gaji pegawai, konsumsi bahan bakar dan biaya perbekalan. Para manajer perikanan harus membuat keuntungan pada setiap operasi. Jika daerah penagkapan tersebut terlalu jauh dari pelabuhan, itu akan memerlukan bahan bakar yang banyak. Jika usaha perikanan tersebut benar-benar memiliki harapan yang besar, usaha yang dijalankan mungkin boleh pergi ke tempat yang lebih jauh. Nelayan yang dalam kasus demikian dapat memperoleh keuntungan dengan manajemen usaha perikanan. Jika kita dapat membuat alat untuk meningkatkan efisiensi usaha perikanan seperti menggunakan mesin perikanan yang lebih efisien, kemudian kita dapat juga memperbesar kapasitas kita untuk menangkap ikan ke tempat yang lebih jauh.


Daerah penangkapan ikan juga dikontrol oleh permintaan pasar untuk ikan. Permintaan untuk produk ikan akan dipengaruhi oleh kapasitas ketersediaan dari tempat tersebut, sebagai contoh, adalah baru saja dikembangkan sebagai daerah penangkapan ikan. Jadi, daerah penangkapan ikan selalu memiliki nilai yang relatif, berhubungan dengan keseimbangan ekonomi, daerah penangkapan ikan lainnya, efisiensi usaha perikanan dan permintaan ikan di dalam pasar. Begitulah, harus selalu berusaha menemukan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan efektif dari metode penangkapan ikan yang dimodernisasi.


Pemilihan Daerah Penangkapan Ikan

Hal pertama yang harus kita ketahui tentang keberadaan daerah penangkapan ikan menurut spesis ikan dan dari musim. Pemilihan daerah penangkapan ikan akan dibahas dengan sesuai pemahaman dari efisiensi, keuntungan dan ekonomi usaha perikanan. Metode pemilihan akan dibahas sebagai berikut :

a). Asumsi awal tentang area lingkungan yang cukup sesuai dengan tingkah laku ikan yang diarahkan dengan menggunakan data riset oseanografi dan meteorologi.

b). Asumsi awal tentang musim dan daerah penangkapan ikan, dari pengalaman menangkap ikan yang lampau yang dikumpulkan ke dalam arsip kegiatan penangkapan ikan masa lampau.

c). Pemilihan daerah penangkapan ikan yang bernilai ekonomis dengan mempertimbangkan dengan seksama jarak dari pangkalan, kepadatan gerombolan ikan, kondisi meteorologi, dan lain sebagainya.

Klasifikasi Daerah Penangkapan Ikan

A). Berdasarkan Daerah Operasinya.
1. Littoral Zone Fishing Ground
2. Coastal Fishing Ground
3. High Sea Fishing Ground
4. Island Waters Fishing Ground

B). Berdasarkan Alat dan Metode Penangkapannya
1. Fixed Trap Net Fishing Ground
2. Lift Net Fishing Ground
3. Purse Seine Fishing Ground
4. Trawl Net Fishing Ground
5. Gill Net Fishing Ground
6. Angling Fishing Ground

C). Berdasarkan Jenis Ikan Target Penangkapan
1. Sardine Fishing Ground
2. Mackerel Fishing Ground
3. Bonito Fishing Ground
4. Tuna Fishing Ground

D). Berdasarkan Habitat Ikannya.
1. Demersal Fishing Ground
2. Pelagic Fishing Ground
3. Shallow Fishing Ground

E). Berdasarkan Kedalaman Perairannya.
1. Shallow Sea Fishing Ground
2. Deep Sea Fishing Ground

F). Berdasarkan Nama Perairannya.
1. Cina Selatan Sea Fishing Ground
2. Banda Sea Fishing Ground
3. Samudera Sea Fishing Ground
4. Arafura Sea Fishing Ground

G). Berdasarkan Letak Perairannya.
1. Laut Fishing Ground
2. Sungai Fishing Ground
3. Danau Fishing Ground
4. Rawa Fishing Ground

Pustaka : http://pondok-munzir.blogspot.com/search/label/Artikel%20Perikanan,
© 2004 Alfa Nelwan Posted: 27 November 2004 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702)
alfanelwan@yahoo.com. Dan Daerah Penangkapan Ikan oleh Ir. Robert M.H. Nasution, MM

IUU fishing


Dasar Pengertian illegal, unreported dan unregulated (IUU) fishing

1. Kegiatan perikanan yang tidak sah.
2. Kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang berlaku.
3. Aktifitasnya tidak di laporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang  tersedia.

                IUU fishing dapat terjadi disemua kegiatan perikanan tangkap tanpa tergantung pada lokasi, target species, alat tangkap yang di gunakan dan exploitasi, serta dapat muncul di semua tipe perikanan baik skala kecil dan industri, perikanan di zona juridiksi nasional maupun internasional

BATAS-BATAS LANDAS KONTINEN SUATU NEGARA

 BATAS-BATAS LANDAS KONTINEN SUATU NEGARA

Dibanding dengan zona ekonomi eksklusif, landas kontinen agak lebih tua umurnya, Rejim atau pranata hukum tentang landas kontinen ini secara formal berawal dari Proklamasi Presiden Amerika Serikat Henry S. Truman, yang dikeluarkan pada tanggal 28 September 1945. Proklamasi ini sebenarnya terdiri atas dua hal yaitu, yang pertama tentang landas kontinen dan yang kedua tentang perikanan. Akan tetapi yang lebih dikenal luas adalah Proklamasi tentang landas kontinen.
Dengan Proklamasi Presiden Truman 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum laut masa kini yang didasarkan atas pengertian yang baru dalam hukum laut yakni pengertian geologi “Continental Shelf” atau dataran kontinen. Tindakan Presiden Amerika Serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut (Seabed) tanah dibawahnya (subsoil) yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi.
Memang secara geologis, dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di bawah perairn laut, disebut landas kontinen dalam arti geologis. Landas kontinen dalam pengertian geologis ini tentu saja meliputi seluruh dasar laut dan tanah dibawahnya baik yang terletak dibawah laut teritorial, sebagaimana halnya dengan laut teritorial itu sendiri adalah merupakan wilayah negara, maka hal ini berarti landas kontinen dalam pengertian geologis itu secara yuridis terbagi menjadi menjadi dua bagian yakni yang terletak di bwah laut teritorial dan yang terletak di luar area laut teritorial atau berada di luar kedaulatan negara pntai.
Dari bunyi teks Proklamasi Truman dan penjelasan-penjelasan yang menyertainya kiranya jelas bahwa tindakan Pemerintah Amerika Serikat ini bertujuan mengamankan atau mencadangkan kekayaan mineral yang terdapat dalam dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai tidak bermaksud mengganggu pelayaran bebas yang terdapat dalam laut lepas. Dengan demikian Proklamasi Truman secara sekaligus memperluas wewenang Amerika Serikat untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan dengan pantainya termasuk tanah yang ada di bawahnya sambil tetap mempertahankan kebebasan berlayar yang juga menjadi kepentingan Amerika Serikat dalam perairan di atasnya dengan menegaskan bahwa kedaulatan dan yurisdiksi penuh tetap terbatas pada laut teritorial 3 mil.
Menurut Bishop walaupun bukanlah maksud Proklamasi Presiden Truman untuk memperluas “kadaulatan” Amerika Serikat ke laut di luar batas laut teritorial, tetapi hanya tentang hak-hak khusus atas sumber-sumber alam dari dasar laut dan tanah di bawah permukaan air dan hal-hal khusus tentang penangkapan ikan, nemun beberapa negara Amerika Latin menganggap Proklamasi ini sebagai suatu pernyataan perluasan kadaulatan.
Ternyata proklamasi Truman ini tidak menimbulkan protes dari negara-negara lain. Bahkan beberapa negara seperti negara-negara di Amerika Latin justru mengikuti jejak dan langkah Amerika Serikat ini. Bahkan dengan sifat dan corak yang lebih ekstrim. Tiga negara Amerika Latin yaitu, Cilli, Equador dan Peru dalam sidangnya di Cuida- Truillo pada tahun 1952, menyatakan klaim yang sangat ekstrim yaitu area lautan beserta dasar laut dan tanah dibawahnya dalam jarak 200 mil laut dari pantainya berada dibawah kedaulatannya. Tentu saja klaim ketiga negara ini ditentang oleh banyak negara di dunia. Negara-negara lain juga mengikuti jejak Amerika Serikat, namun dengan isi dan rumusan yang sangat berbeda antara satu dengan yng lain.
Yang ingin ditunjukkan adalah bahwa Proklamasi Truman tahun 1945 tentang “continental shelf”, walaupun merupakan tindakan sepihak ternyata telah menimbulkan suatu perkembangan baru yang mengakibatkan suatu perubahan yang tidak kecil dalam hukum laut internasional.
Apabila diteliti semua tindakan-tindakan sepihak negara-negara bertalian dengan “seabed dan subsoil” setelah Proklamasi Truman tahun 1945 tentang “continental shelf ”, apakah bentuk atau wujudnya, maka kita dapat menggolongkannya menjadi paling sedikit 4 (empat) golongan sebagai berikut.
(1) Tindakan perluasan yurisdiksi yang ditujukan kepada penguasaan-penguasaan kekayaan alam yang terkandung dalam dasar laut dan tanah dibawahnya (seabed dan subsoil) laut yang berbatasan dengan pantai.
(2) Perluasan yurisdiksi atau dalam beberapa hal “kedaulatan” atas dasar laut dan tanah di bawahnya (seabed and subsoil) daripada continental shelf itu sendiri.
(3) Perluasan kedaulatan atas continental shelf dan perairan diatasnya.
(4) Perluasan “sovereignty” atas lautan (dengan atau tanpa menyebutkan continental shelf) hingga suatu ukuran jarak tertentu misalnya 200 mil laut.
Apabila kita memakai azaz-azaz yang terkandung dalam Proklamasi Truman tahun 1945 sebagai ukuran bagi konsepsi “continental shelf” maka tindakan-tindakan sepihak negara yang memasok golongan (1) dan (2) dapat dikatakan tergolong serupa dengan tindakan Pemerintah Amerika serikat di tahun 1945.
Praktek negara yang tergolong katagori (4) seperti misalnya tindakan negara Equador, Cili dan Peru (dan Kosta Rica) yang menyebutkan 200 mil sebagai batas berlaku kedaulatannya sebenarnya sudah agak jauh dari pengertian “continental shelf”, karena sebenarnya dasar pemikirannyapun lain. Yang membedakan golongan ini dari ketiga golongan terdahulu adalah bahwa klaim-klaim ini tidak didasarkan atas adanya “continental shelf” atau dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai. Secara geologis negara-negara ini memang tidak atau hampir tidak memiliki “continental shelf” yang berbatasan dengan pantainya.
Yang membedakan deklarasi-deklarsi continental shelf Chile dan Peru dari yang lain adalah bahwa klaim-klaim ini tidak memiliki ukuran kedalaman 200 meter melainkan ukuran jarak 200 mil dari pantai. Berlainan dengan klaim-klaim atas continental shelf lainya yang didasarkan adanya suatu continental shelf (dataran kontinen) dalam arti geologis, deklarasi-deklarasi Chile dan Peru ini walaupun dinamakan klaim atas continental shelf justru didsarkan atas alasan atau argumentasi tidak adanya continental shelf dalam arti geologis di muka pantai kedua negara ini yang memerlukan suatu konpensasi.
Dasar alasan klaim-klaim Chile dan Peru ini diperkuat dengan argumentasi biologi yang mereka namakan teori bioma.
Azaz-azaz yang menjadi dasar daripada klaim Chile dan Peru yang merupakan perpaduan atau kombinasi argumentasi geologi dan biologi ini dikemukakan dalam Deklarasi Santiago tanggal 18 Agustus 1952 yang ditandatangani oleh Chile, Equador dan Peru, Deklarasi ini didasarkan atas konsep-konsep “eco-system” dan “bioma”
Menurut teori ini, suatu “eco-system” (ecological system) adalah jumlah keseluruhan daripada faktor-faktor non-biotik, terutama faktor-faktor klimatologi dan hidrologi, yang memungkinkan adanya kehidupan hayati dan nabati. Di dalam suatu “eco-system” satuan-stuan mahkluk mulai dari bentuk-bentuk hidup nabati dan hayati yang mikroskopis kecilnya (phytoplankton dan 200 planton) hingga bentuk binatang menyusui yang paling sempurna yaitu manusia, hidup berdampingan dalam interdependensi sempurna merupakan satu rangkaian biologis yang dinamakan “bioma”. Dalam eco-system yang mengandung bioma-bioma di daerah yang meliputi wilayah negara Chile, Peru dan Equador. Arus laut Humboldt atau Peru (Humboldt or Peravian Current) memegang peranan penting sebagai faktor utama dalam kehidupan biologis di daerah ini. Karena interpedensi yang sangat erat antara kehidupan di darat dan sumber kekayaan di laut, maka perlindungan kekayaan laut menjadi soal hidup atau mati bagi rakyat negara-negra ini. Letak Arus Peru tidak sama jauhnya dari pada Chile, Equador dan Peru, akan tetapi batas lingkungn bioma-bioma yang tergantung padanya terletak rata-rata kurang lebih dalam batas 200 mil dari pantai. Demikian uraian singkat dasar biologis dari klaim negara-negara Chile, Equador, dan Peru seperti dinyatakan dalam Deklarasi Santiago.
Demikianlah sejarah dan perkembangan dalam hukum laut internasional sesudah Perang Dunia Ke-II mulai dari Proklamasi-proklamasi Truman tahun 1945 hingga klaim negara-negara Amerika Latin atas suatu jalur 200 mil Laut, yang berarti mempunyai kecendrungan untuk berkembang menjadi suatu pranata hukum laut internasional yang berlaku umum, tetapi pada pihak lain isi dan rumusannya masih berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
Dalam konperensi hukum laut di Jenewa pada tahun 1958, tentang landas kontinen ini menjadi salah satu pokok pembahasan dan berhasil mencapai kata sepakat dan melahirkan konvensi tentang landas kontinen. Dengan demikian secara resmi landas kontinen ini telah menjadi hukum internasional positif. Tabel berikut ini akan diuraikan perbandingan antara ketentuan Konvensi Jenewa 1958 tentang landas kontinen dengan ketentuan yang terdapat dalam Konvensi hukum laut 1982.
LANDAS KONTINEN (CONTINENTAL SHELF)
KONVENSI JENEWA 1958 KONVENSI HUKUM LAUT 1982
A. Batasan Landas Kontinen
- Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang bersambungan dengan pantai tetapi diluar laut teritorial, sampai pada kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang dalamnya air laut di atasnya masih memungkin kan untuk dapat mengekplorasi-nya dan mengekploitasi sumber-sumber daya alamnya (pasal 1)
- Termasuk juga dalam pengertian Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di luar area laut teritorial dari sebuah pulau.

Dari bunyi atau rumusan pasal 1 tersebut batas luar Landas Kontinen sama sekali menunjukkan adanya ketidakpastian.
Tentang batasan Landas Kontinen ini akan diuraikan setelah tabel ini. A. Batasan Landas Kontinen
- Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah hingga daratannya hingga pinggiran luar kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorialnya diukur (Pasal 76 (1)).
- Landas Kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi dari batas-batas sebagaimana ditentukan dalam ayat 4 hingga ayat 6 (Pasal 76 (2)).

Dalam konvensi ini batas luar dari Landas Kontinen sudah cukup tegas dan jelas. Berarti sudah ada kepastian hukum tentang sejauhmana suatu negara memiliki hak dan eksklusif atas sumber daya alam dari Landas Kontinen.
Definisi atau pengertian landas kontinen ini adlah pengertian landas kontinen dalam pengertian yuridis. Hal ini berbeda dengan pengertian landas kontinen dalam pengertian geografis.
Pengertian landas kontinen dalam arti yuridis menurut pasal 1 konvensi landas kontinen terbukti dari :
(a) Dibatasinya landas kontinen itu pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar area laut teritorial. Jadi dasar laut dibawah area laut teritorial walaupun secara geologis tergolong sebagai landas kontinen tetapi secara yuridis berada dibawah wilayah atau kedaulatan negara, tidak tergolong sebagai landas kontinen
(b) Dibentuknya kriteria kedalaman 200 meter atau lebih, dalam pengekplorasian dan pengekploitasiannya ini disebut dengan kriteria exsploitability, suatu kriteria yang tampaknya sangat relatif, sehingga pada akhirnya menimbulkan ketidak pastian.
(c) Diperluasnya pengertian landas kontinen ini pada pulau. Jadi secara yuridis pulau memiliki landas kontinen sedangkan secara geologis pulau tidak memiliki landas kontinen.
Di dalam landas kontinen inilah negara pantai memiliki hak eksklusif untuk mengekplorasinya dan mengekploitasi sumber daya alam. Negara lain tidak boleh melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas sumber daya alamnya tanpa izin atau persetujuan dari negara pantai. Negara pantai hanya memiliki hak eksklusif atas sumber daya alamnya saja. Sedangkan terhadap dasar laut dan tanah dibawahnya itu atau terhadap landas kontinen itu sendiri, negara pantai sama sekali tidak memiliki kedaulatan. Dengan kata lain, landas kontinen itu tetap berada di luar wilayah atau di luar kedaulatan negara.
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan pokok yang muncul, yaitu tentang batas terluar dari landas kontinen menurut pasal pasal 1 konvensi tentang landas kontinen tersebut. Di manakah atau sejauh berapa mil lautkah tampak bahwa batas luar landas kontinen itu sama sekali tidak menunjukan adanya kepastian. Hal ini disebabkan oleh karena batas terluar itu digantungkan pada kedalaman 200 meter atau lebih, sepanjang masih mungkin untuk mengeplorasi dasar laut dan tanah dibawahnya, maupun untuk mengekploitasi sumber daya alamnya. Tentu saja hal ini akan menjadi sangat relatif, oleh karena sangat berkaitan erat dengan tingkat kemajuan teknologi dari masing-masing negara. Jika suatu negara teknologinya sangat maju, maka negara itu kan mampu menguasai landas kontinen yang cukup luas, bahkan sangat jauh dari pantainya sampai ke dasar samudera di tengah lautan. Sebaliknya negara yang teknologinya belum maju, bahkan mungkin sama sekali tidak memiliki teknologi kelautan, tentu saja tidak mampu menguasai landas kontinen yang cukup luas dibandingkan dengan negara-negara yang teknologinya sudah maju.
Akibat selanjutnya dari keadaan seperti dilukiskan di atas adalah, negara-negara yang tergolong dalam kelompok pertama akan menikmati secara optimal dan maksimal atas sumber daya alam landas kontinennya, sedangkan negara-negara yang tergolong kelompok kedua walaupun secara yuridis memiliki landas kontinen sama sekali tidak mampu menikmati sumber daya alamnya. Meskipun dapat saja dilakukan ekploitasi atas sumber daya alam dari landas kontinennya itu, misalnya dengan memberikan ijin kepada pihak negara-negara yang teknologinya sudah maju, hal ini akan menimbulkan ketergantungan yang dapat merugikan negara-negara yang teknologinya belum maju tersebut.
Di samping itu ada pula sekelompok negara yang sama sekali tidak memiliki pantai atau negara-negara buntu (land lock states), yang bagian terbesar adalah negara-negara yang teknologinya belum maju. Tentu saja negara-negara itu sama sekali tidak memiliki landas kontinen dan dengan demikian sama sekali tidak menikmati apa-apa atas sumber daya alam yang dikandung dasar laut dan tanah dibawahnya. Negara-negara ini praktis mendapat perlakuan yang tidak adil dari Konvensi Hukum Laut 1958 pada umumnya dan konvensi tentang landas kontinen pada khususnya
Dalam Konvensi Hukum Laut 1982 ini, masalah landas kontinen mendapat tempat pengaturan tersendiri yakni dalam Bab VI pasal 76 – 85. Dalam Konvensi ini batas luar dari landas kontinen sudah cukup tegas dan jelas. Berarti sudah ada kepastian hukum tentang sejauh mana suatu negara memiliki hak ekklusif atas sumber-sumber daya alam dari landas kontinen tersebut. Sedangkan dasar laut dan tanah dibawahnya yang terletak di luar landas kontinen atau disebut juga dasar laut dan tanah dibawahnya di luar yurisdiksi nasional atau menurut Konvensi Hukum Laut 1982 dikenl juga dengan istilah kawasan (The Area), merupakan warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind).
Untuk lebih jelasnya, baiklah dikutip ketentuan tentang landas kontinen seperti diatur di dalam pasal 76. tegasnya, menurut pasal 76 ayat 1, landas kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepenjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggir luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut. Selanjutnya di dalam ayat 2 ditegaskan bahwa landas kontinen suatu negara pantai tidak boleh melebihi dari batas-batas sebagaimana ditentukan di dalam ayat 4 hingga ayat 6.
Oleh karena itu, penting pula untuk dikutip ayat 4 hingga 6 sebagai berikut :
1. (a) Untuk maksud Konvensi ini, Negara pantai akan menetapkan
pinggiran luar tepi kontinen dalam hal tepi kontinen tersebut lebih lebar dari 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, atau dengan :
(i) Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap terluar di mana ketebalan batu endapan adalah paling sedikit 1% dari jarak terdekat antara titik tersebut dan kaki lereng kontinen; atau
(ii) Suatu garis yang ditarik sesuai dengan ayat 7 dengan menunjuk pada titik-titik tetap yang terletak tidak lebih dari 60 mil laut dari kaki lereng kontinen.
(b) Dalam hal tidak terdapatnya bukti yang bertentangan, kaki lereng kontinen harus ditetapkan sebagai titik perobatan maksimum dalam tanjakan pada kakinya.
2. Titik-titik tetap yang merupakan garis batas luar landas kontinen pada dasar laut, yang ditarik sesuai dengan ayat 4 (a) (i) dan (ii), atau tidak akan boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur atau tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis batas kedalaman (isobath) 2.500 meter, yaitu suatu garis yang menghubungkan kedalaman 2.500 meter.
3. Walaupun ada ketentuan ayat 5, pada bukit-bukit dasar laut, batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur. Ayat ini tidak berlaku bagi elevasi dasar laut yang merupakan bagian-bagian alamiah tepi kontinen, seperti pelataran (plateau), tanjakan (rise), puncak (caps), ketinggian yang datar (banks) dan puncak gunung yang bulat (spurs).
4. Negara pantai harus menetapkan batas terluar landas kontinennya dimana landas kontinen itu melebihi 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur dengan cara menarik garis lurus yang tidak melebihi 60 mil laut panjangnya, dengan menghubungkan titik-titik tetap yang ditetapkan dengan koordinat-koordinat lintang dan bujur.
Pengertian ini sudah menampakkan batas yang tegas tentang landas kontinen, walaupun mengenai batas yang pasti sebagaimana ditentukan dalam pasal 76 ayat 4 hingga 7 seperti dikutip di atas, masih perlu ditetapkan lebih lanjut yang sudah tentu harus didasarkan pada hasil penelitian dalam bidang geologi kelautan.
LANDAS KONTINEN (KONTINENTAL SHELF)
Konvensi Jenewa 1958 Konvensi Hukum Laut 1982
B. Hak dan Kewajiban Negara Pantai

- Sama dengan ketentuan Pasal 2 (1).
- Sama dengan ketentuan Pasal 2 (3)
- Sama dengan ketentuan Pasal 2 (2)

Kewajiban negara pantai

- Konvensi ini tidak menentukan batas yang pasti dari landas kontinen seperti pada uraian di atas.

- Ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 4 konvensi ini dimana negara pantai tidak diizinkan menghalangi peletakan atau pemeliharaan dari kabel atau pipa pada landas kontinen.
B. Hak dan Kewajiban Negara Pantai

- Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. (Pasal 77 (1)).
- Hak negara pantai tidak tergantung pada pendudukan atau proklamasi yang diumumkan. (Pasal 77 (3)).
- Tidak ada negara lain yang dapat melakukan ekploitasi sumber kekayaan alam tanpa persetujuan negara pantai. (Pasal 77 (2))
- Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur pemboran landas kontinen untuk segala keperluan. (Pasal 81).

Kewajiban negara pantai

- Negara pantai harus menetapkan batas terluar landas kontinen (Pasal 76 (8)).
- Negara pantai harus mendeposit-kan pada Sekretaris Jenderal PBB peta-peta dan keterangan yang relevan, yang secara permanen menggambarkan batas luar landas kontinennya (Pasal 76 (9) dan Pasal 84 (1) dan (2)).
- Negara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan atau pemeliharaan kabel atau pipa. (Pasal 79 (2)).
- Negara pantai harus melakukan pembayaran atau sumbangan kepada otorita berkaitan dengan eksploitasi sumber kekayaan non hayati di landas kontinen diluar 200 mil laut. (Pasal 82 (1)) dan ayat (4)
C. Status hukum dan Ruang Udara
Diatas

Landas kontinen serta hak dan kekebalan negara lain
- Ketentuan yang sama di atur dalam pasal 3 konvensi ini
- Ketentuan yang sama juga terdapat dalam pasal 5 (1) konvensi ini. C. Status hukum dan Ruang Udara diatas
Landas kontinen serta hak dan kekebalan negara lain
- Hak negara pantai atas landas kontinen tidak mempengaruhi status hukum perairan diatas-nya dan ruang udara (pasal 78 (1))
- Pelaksanaan hak negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengurangi atau mengganggu terhadap pelayaran dan hak serta kebebasan negara lain. (Pasal 78 (2)).
D. Kabel dan Pipa di Landas Kontinen
- Dalam konvensi ini tidak ditentukan dengan jelas kecuali adanya ketentuan bahwa nagara pantai tidak boleh menghalangi pemasangan dan pemeliharaan kabel atau pipa di landas kontinen. D. Kabel dan Pipa di Landas Kontinen
- Semua negara berhak meletak-kan kabel dan pipa bawah laut di atas landas kontinen. (Pasal 79(1)).
- Penentuan arah jalannya pemasangan pipa harus mendapatkan persetujuan negara pantai.
E. Pembuatan Instalasi dan Bangunan
- Pasal 5 Konvensi Jenewa 1958 tentang landas kontinen memuat ketentuan yang sama dengan ketentuan pasal 60 konvensi hukum laut 1982.
- Sampai kepada batas-batas tertentu negara pantai di perkenankan mendirikan menjalankan instalasi pada landas kontinen untuk ekplorasi dan ekploitasi, mendirikan zona keselamatan di sekitar instalasi tersebut, yaitu sejauh 500 meter disekitar instalasi atau peralatan yang dipasang. Kapal dari semua kebangsaan harus menghormati zona keselamatan tersebut. (Pasal 5)
- Diperlukan adanya persetujuan dari negara pantai apabila ada negara lain mensponsori atau melakukan penelitian pada landas kontinen. (Pasal 5 (8)).
- E. Pembuatan Instalasi dan Bangunan

- Pasal 56 juncto Pasal 60 berlaku mutatis untuk pulau buatan, instalasi dan bangunan di atas landas kontinen (Pasal 80).
F. Penetapan Garis Batas landas
Kontinen
- Dalam hal landas kontinen bersambung ke wilayah dua atau lebih negara lain yang pantainya saling berhadapan, batas dari landas kontinen ditentukan melalui suatu perjanjian internasional. (Pasal 6)

- Apabila perjanjian seperti itu tidak ada maka garis batas biasanya adalah garis tengah (Pasal 6 (2)).

Dalam konvensi ini tidak ada pengaturan tentang penyelesaian sengketa apabila perjanjian batas landas kontinen itu tidak tercapai. Kelemahan ini disempurnakan dalam konvensi Hukum Laut 1982. F. Penetapan Garis Batas landas
Kontinen
- Batas landas kontinen dari negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau bersambung, dilakukan dengan perjanjian atas dasar hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. (Pasal 83 (1))
- Apabila tidak dicapai persetujuan, harus digunakan prosedur dalam Bab XV tentang Penyelesaian sengketa. (Pasal 83 (2)).


Rumpon


Rumpon

Rumpon atau Fish Aggregating Device (FAD) adalah salah satu jenis alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dilaut, baik laut dangkal maupun laut dalam. Pemasangan tersebut dimaksudkan untuk menarik gerombolan ikan agar berkumpul disekitar rumpon, sehingga ikan mudah untuk ditangkap.

Rumpon dalam bahasa kelautan adalah karang buatan yang dibuat oleh manusia dengan tujuan sebagai tempat berkumpul ikan. Rumpon merupakan rumah buatan bagi ikan di dasar laut yang dibuat secara sengaja dengan menaruh berbagai jenis barang di dasar laut seperti ban, dahan dan ranting dengan pohonnya sekaligus. Barang–barang tersebut dimasukkan dengan diberikan pemberat berupa beton, batu–batuan dan penberat lainnya sehingga posisi dari rumpon tidak bergerak karena arus laut. Barang–barang yang dimasukkan kedalam laut dapat terus ditambah secara berlanjut untuk menambah massa rumpon.

Pembuatan rumpon ikan sebenarnya adalah salah satu cara untuk mengumpulkan ikan, dengan membentuk kondisi dasar laut menjadi mirip dengan kondisi karang–karang alami, rumpon membuat ikan merasa seperti mendapatkan rumah baru. Meski untuk mengetahui keberhasilanya dibutuhkan waktu yang tidak sedikit sekitar 3- 6 bulan namun usaha pembuatan rumpon ini merupakan solusi terbaik meningkatkan hasil perikanan di laut.

Jenis-jenis Rumpon
                Terdapat 3 jenis rumpon, yaitu:
1.       Rumpon Perairan Dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut.
2.       Rumpon Perairan Dangkal adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan padaperairan laut dengan kedalaman sampai dengan 200 meter.
3.       Rumpon Perairan Dalam adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman diatas 200 meter.


Penggunaan rumpon tradisional di Indonesia banyak ditemukan di daerah Mamuju (Sulawesi Setatan) dan Jawa Timur. Menurut Monintja (1993) rumpon banyak digunakan di Indonesia pada tahun 1980, sedangkan Negara yang sudah mengoperasikan rumpon diantaranya Jepang, Philipina, Srilanka, Papua Nugini dan Australia.

Beberapa alasan mengapa ikan sering ditemukan disekitar rumpon:
1.       Banyak ikan- ikan kecil dan plankton yang berkumpul disekitar rumpon dimana ikan dan plankton tersebut merupakan sumber makanan bagi ikan besar.
2.       Ada beberapa jenis ikan seperti tuna dan cakalang yang menjadikan rumpon sebagai tempat untuk bermain sehingga nelayan dapat dengan mudah untuk menangkapnya.

Nelayan dapat mengetahui banyak ikan di daerah rumpon dengan beberapa ciri yang khas yaitu:
1.       Banyaknya buih-buih atau gelembung udara dipermukaan air.
2.       Warna air akan terlihat lebih gelap dibandingkan dengan warna air disekitarnya karena banyak ikan yang bergerombol.
Tingkah laku ikan disekitar rumpon
Asikin (1985) mengemukakan bahwa keberadaan ikan di sekitar rumpon karena berbagai sebab, antara lain:
1.       Rumpon sebagai tempat bersembunyi di bawah bayang-bayang daun rumpon bagi beberapa jenis ikan tertentu;
2.       Rumpon sebagai tempat berpijah bagi beberapajenis ikan tertentu;
3.       Rumpon itu sebagai tempat berlindung bagi beberapa jenis ikan yang mempunyai sifat fototaksis negatif;
Samples dan Sproul (1985) mengemukakan teori tertariknya ikan yang berada di sekitar rumpon disebabkan karena:
1.       Rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi beberapa jenis ikan tertentu;
2.       Rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan-ikan tertentu;
3.       Rumpon sebagai substrat untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan tertentu;
4.       Rumpon sebagai tempat berlindung (shelter) dan predator bagi ikan-ikan tertentu;
5.       Rumpon sebagai tempat sebagaititik acuan navigasi(meeting point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya.

Adanya ikan di sekitar rumpon berkaitan pula dengan pola rantai makanan dimana rumpon menciptakan suatu arena makan dan dimulai dengan tumbuhnya bakteri dan mikroalga ketika rumpon mulai dipasang. Selanjutnya mahluk renik dan hewan-hewan kecil akan menarik ikan-ikan yang berukuran lebih besar yang memangsa ikan-ikan berukuran kecil (Subani, 1972).

Berdasarkan hasil analisa isi perut dari ikan-ikan yang berada di sekitar rumpon didapatkan bahwa ikan-ikan kecil yang berkumpul di sekitar rumpon tidak memakan daun-daun rumpon tetapi memakan jenis-jenis plankton yang berada di sekitar rumpon (Djatikusumo, 1977).

Bahan dan Komponen Rumpon
                Setiap rumpon terdiri dari beberapa komponen. Di Indonesia rumpon masih menggunakan bahan alami seperti daun kelapa, tali plastik yang sudah pasti kekuatannya sangat terbatas.

Komponen dan kontruksi rumpon terdiri dari:
1. Pelampung
 Sebagai alat pengapung yang dibuat dari besi plat yang dibentuk seperti tabung.
2. Atraktor
 Merupakan pemikat yang bertujuan untuk memikat ikan disekeliling rumpon yang terbuat dari daun nyiur atau daun kelapa.
3. Tali-temali
 Guna sebagai pengikat pelampung dan pemberat bahannya terbuat dari polyethylene kemudian ditambahkan kawat baja untuk mengikat atraktor supaya cepat tenggelam dan tidak mengapung.
4. Pemberat
 Merupakan bahan untuk menenggelamkan rumpon dan rumpon tidak berpindah tempat yang dibuat dari semen yang dicor.

Tim Pengkajian Rumpon IPB (1987) mengemukakan bahwa persyaratan umum komponen dan konstruksi rumpon adalah sebagai berikut:

1. Pelampung
Mempunyai kemampuan mengapung yang cukup baik (bagian yang mengapung diatas air 1/3 bagian)
Konstruksi cukup kuat
Tahan terhadap gelombang dan air
Mudah dikenali dari jarak jauh
Bahan pembuatnya mudah didapat;

2. Atraktor atau pemikat
Mempunyai daya pikat yang baik terhadap ikan
Tahan lama
Mempunyai bentuk seperti posisi potongan vertikal dengan arah ke bawah
Melindungi ikan-ikan kecil
Terbuat dan bahan yang kuat, tahan lama dan murah;
Tali-temali,
Terbuat dan bahan yang kuat dan tidak mudah busuk
Harganya relatif murah, mempunyai daya apung yang cukup untuk mencegah gesekan terhadap benda-benda lainnya dan terhadap arus
Tidak bersimpul (less knot);

4. Pemberat
Bahannya murah, kuat dan mudah diperoleh
Massa jenisnya besar, permukaannva tidak licin dan dapat mencengkeram

Jenis- jenis Ikan yang Banyak Ditemukan di Sekitar Rumpon
Tidak semua ikan ditemukan disekitar rumpon. Ikan jenis pelagis merupakan ikan dominan yang sering ditemukan didalam rumpon. Jenis-jenis Ikan yang Sering Berasosiasi dengan Rumpon, (Monintia, 1993):
1.       Cakatang – Skipjack- (Katsowonus pelamis)
2.       Tongkol – Frigate Tuna- (Auxis thazard )
3.       Tongkol Pisang-Frigate Tuna- Euthynnus affinis
4.       Tenggiri- King Mackeret- Scomberomorus sp
5.       Madidihang -Yellow Fin Tuna- Thunnus albacares
6.       Tembang -Frigate Sardin – Sardinella firnbriato
7.       Japuh Rainbow -Sardin -Dussumeria hosselti

Konstruksi Rumpon
 Di Jawa Barat konstruksi rumpon masih sederhana sekali, pada umumnya pelampungnya dari bambu dan tali temalinya dari bahan plastik atau rotan, pemberatnya dari batu gunung atau batu karang sedangkan atraktornya menggunakan daun kelapa. Rumpon jenis ini banyak dioperasikan di laut yang dangkal dengan tujuan untuk rnengumpulkan ikan pelagis yang kecil – kecil. Untuk perairan yang mempunyai kedalaman sampai ribuan meter digunakan tali.

Di negara maju seperti Jepang dan Philipina rumpon yang dipasang selalu dilengkapi alat penditeksi ikan yang dapat memonitor dari kapal penangkapannya.

Agar kepemilikkan rumpon tidak tertukar atau hilang, maka diberi tanda, misalnya dengan bendera, pelampung, cermin atau tanda lain sesuai keinginan pemiliknya. Pembuatan rumpon selain untuk diambil hasil ikannya untuk keperluan sendiri, dapat juga disewakan kepada para pemancing laut yang memang mencari kesenangan mencari ikan di lokasi yang banyak ikannya. Para pemancing yang memang membutuhkan hot spot memancing yang bagus dapat menyewa pemilik rumpon ini sebagai alternatif memancing yang cukup mudah.
Tags: Alat Penangkap Ikan, Fish Agregation Device (FAD), Fishing tool, rumpon, Rumpon Fish, Rumpon Ikan, Rumpon Laut, Sea Rumpon